Monday, July 27, 2009

KUMPULAN BUKU KARYA HARTONO AHMAD JAIZ


KUMPULAN BUKU KARYA HARTONO AHMAD JAIZ


Ada Tiga Judul buku dalam Ebook ini, adalah:


- ADA PEMURTADAN di IAIN

Buku ini Berusaha menguak bagaimana pemurtadan di perguruan-perguruan tinggi Islam.


- BILA KIYAI MENJADI TUHAN Buku ini menggambarkan bagaimana Kiai seakan dianggap dan 'mentuhankan' dirinya.

- BAHAYA ISLAM LIBERAL Buku ini menjelaskan bagaimana Islam Liberal yang berkedok sang Pembaharu menjadi pahlawan yang hendak mematikan Islam secara hakiki.

- TASAWUF BELITAN IBLIS
Menggambarkan bagaimana tasawuf itu menjadi salah satu yang membuat manusia berada pada jalan yang tidak diridhai Tuhan.

- TASAWUF, PLURALISME, & PEMURTADAN
Ketiga kata itu sering menjadi sumber malapetaka yang mampu menghacurkan iman dan aqidah Ummat Islam..

Download Ebooknya
read more...

Friday, July 10, 2009

Mengenal Teori Shannon-Weaver

Upaya membahas fenomena informasi secara ilmiah sudah mulai dipikirkan oleh para ilmuwan sejak tahun 1920an. Namun upaya tersebut baru benar-benar menarik perhatian kalangan akademisi dan industri ketika Claude Shannon menulis “A Mathematical Theory of Communication” tahun 1948 di jurnal Bell System Technical Journal. Shannon adalah seorang ilmuwan matematik yang memang bekerja untuk laboratorium Bell, membantu perusahaan ini mengembangkan teknologi telekomunikasi.

Sebagai peneliti untuk perusahaan telekomunikasi, Shannon tentu saja terutama tertarik terhadap efisiensi mengirim infomasi melalui saluran telegram dan telepon yang waktu itu belum berkembang seperti saat ini. Untuk itu, Shannon perlu memandang informasi sebagai simbol-simbol yang dipertukarkan dalam komunikasi antar manusia. Secara khusus, dia harus menjelaskan bagaimana alat dan saluran komunikasi mengirim simbol-simbol itu dari satu titik di suatu tempat ke titik lain di tempat lainnya. Ini dikenal sebagai transmisi informasi.

Bagi laboratorium Bell tempat Shannon bekerja, kapasitas, efisisiensi, dan efektivitas transmisi ini menjadi amat penting untuk pengembangan jaringan telepon. Shannon lalu menggunakan pendekatan matematik yang memudahkan manusia mereduksi gejala rumit agar mudah dipahami, dan kemudian menghitung atau mengukur gejala tersebut untuk mencapai efisiensi teknologi.

Setahun setelah Shannon mengajukan pemikiran matematisnya di jurnal perusahaan Bell, teori ini dikembangkan lebih jauh bersama seorang rekannya, Warren Weaver, untuk menjadi buku. Di dalam buku inilah mereka menegaskan bahwa untuk memahami informasi, kita perlu berasumsi bahwa semua tujuan komunikasi adalah mengatasi ketidakpastian (uncertainty). Teori yang dikembangkan Shannon dan Weaver menyederhanakan persoalan komunikasi ini dengan memakai pemikiran-pemikiran probabilitas (kemungkinan).

Jika kita melakukan undian dengan melempar sebuah uang logam, hasil undian itu dianggap bernilai satu bit informasi karena mengandung dua kemungkinan dan setiap kemungkinan mengandung nilai 0,5 alias sama besar dari segi kesempatan undian. Dari pemikiran dasar yang sederhana ini, Shannon dan Weaver menyatakan bahwa semua sumber informasi bersifat stochastic alias probabilistik (bersifat kemungkinan). Jika kemungkinan tersebut bersifat tidak mudah diduga, maka derajat ketidakmudahan ini disebut sebagai entropy.

Melalui pernyataan-pernyataan matematis, Shannon (dan lalu juga Weaver) menunjukkan hubungan antara elemen sistem teknologi komunikasi, yaitu sumber, saluran, dan sasaran. Setiap sumber dalam gambaran Shannon memiliki tenaga atau daya untuk menghasilkan sinyal. Dengan kata lain, pesan apa pun yang ingin disampaikan melalui komunikasi, perlu diubah menjadi sinyal, dalam sebuah proses kerja yang disebut encoding atau pengkodean. Sinyal yang sudah berupa kode ini kemudian dipancarkan melalui saluran yang memiliki kapasistas tertentu. Saluran ini dianggap selalu mengalami gangguan (noise) yang mempengaruhi kualitas sinyal. Memakai hitung-hitungan probabilitas, teori informasi mengembangkan cara menghitung kapasitas saluran dan kemungkinan pengurangan kualitas sinyal. Sesampainya di sasaran, sinyal ini mengalami proses pengubahan dari kode menjadi pesan, atau disebut juga sebagai proses decoding.

Teori informasi Shannon juga menganggap bahwa informasi dapat dihitung jumlahnya, dan bahwa informasi bersumber atau bermula dari suatu kejadian. Jumlah informasi yang dapat dikaitkan, atau dihasilkan oleh, sebuah keadaan atau kejadian merupakan tingkat pengurangan (reduksi) ketidakpastian, atau pilihan kemungkinan, yang dapat muncul dari keadaan atau kejadian tersebut. Dengan kata yang lebih sederhana, teori ini berasumsi bahwa kita memperoleh informasi jika kita memperoleh kepastian tentang suatu kejadian atau suatu hal tertentu.

Keunggulan teori Shannon-Weaver terletak pada kemampuannya membuat persoalan komunikasi informasi menjadi persoalan kuantitas, sehingga sangat cocok untuk mengembangkan teknologi informasi. Kritik terhadap teori mereka datang dari kaum yang mencoba mengaitkan informasi dengan makna dan kandungan nilai sosial-budaya di dalam informasi. Sampai sekarang, perdebatan tentang apakah informasi adalah sesuatu yang kuantitatif atau kualitatif masih terus berlangsung. Ada yang mencoba mengambil kebaikan dari kedua pihak dengan mengatakan bahwa informasi adalah sesuatu yang berwujud dan sekaligus bersifat abstrak.

Jasa Shannon-Weaver terletak pada kepioniran mereka memperkenalkan diskusi dan aplikasi informasi ke dalam kehidupan manusia. Apa yang sekarang kita alami dan nikmati, adalah hasil perkembangan dari pemikiran mereka juga.

Beberapa defenisi komunikasi massa.

  • Komunikasi massa adalah proses di mana informasi diciptakan dan disebarkan oleh organisasi untuk dikonsumsi oleh khalayak (Ruben, 1992)
  • Komunikasi massa adalah pesan-pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah orang. (Bittner, 1980)
  • Komunikasi massa adalah suatu proses dalam mana komunikator-komunikator menggunakan media untuk menyebarkan pesan-pesan secara luas, dan secara terus menerus menciptakan makna-makna yang diharapkan dapat mempengaruhi khalayak yang besar dan berbeda-beda dengan melalui berbagai cara. (DeFleur dan Denis, 1985)
Ditulis oleh putubuku di/pada April 9, 2008
read more...

Al-Gazali dan Abraham Maslow dalam Teori Motivasi

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG.
Salah satu cara memahami hakekat manusia adalah dengan pendekatan yang lebih mengarah kepada teori tentang kepribadian manusia. Dewasa ini telah banyak hasil yang dicapai oleh para ahli psikologi dalam usaha untuk menyusun teori kepribadian . Pembahasan tentang kepribadian ini berkaitan erat dengan perilaku manusia yang salah satu determinannya adalah motivasi.
Berdasarkan penggolongan determinan perilaku manusia itulah para ahli psikologi mengemukakan teori-teorinya tentang motivasi. Di antara teori motivasi yang dikemukakan adalah teori aktualisasi diri yang pertama kali dikemukakan oleh Carl Rogers dan kemudian dikembangkan oleh Abraham H. Maslow. Abraham H. Maslow ini dianggap sebagai tokoh madzhab ketiga dari aliran psikologi yang melakukan penelitan dengan cara meneliti orang-orang yang sehat sebagai obyeknya.
Di sisi lain, Al-Ghazâli melalui pendekatan tasawufnya banyak mengungkap hakikat dan perilaku manusia. Dari pemikiran-pemikiran Al-Ghazâli yang fenomenal ini banyak terlahir pemikir-pemikir baru di bidang psikologi Islam. Diantara pemikiran Al-Ghazâli adalah konsepnya tentang fitrah yang dikenal dengan sebutan al-Nafs al-Rabbâniyyah. Konsep fitrah Al-Ghazâli berkaitan erat dengan pembahasan tentang motivasi. Untuk menjelaskan motivasi perilaku manusia, Al-Ghazâli menyuguhkan konsep syahwat sebagai motivasi mendekat (al-sabab al-dâkhili) dan ghadlab sebagai motivasi menjauh (al-sabab al-khâriji).
Pemahaman terhadap hakekat manusia menurut Al-Ghazâli melalui Pendekatan Tasawuf dan Maslow melalui Pendekatan Ilmiah tampaknya memiliki pandangan yang sama, yaitu memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi-potensi baik dan mampu diaktualisasikan sehingga mencapai manusia sempurna (al-insân al-kamîl). Namun tentu saja perbedaan-perbedaan antara mereka berdua tentang teori motivasi pasti ada. Atas dasar itu penelitian mendalam terhadap pemikiran-pemikiran Al-Ghazâli dan Maslow tampaknya perlu dilakukan. Maka mengungkap pemikiran keduanya melalui sebuah studi komparatif laik untuk dilakukan.
B. RUMUSAN MASALAH.
1. Identifikasi Masalah
Pembahasan tentang motivasi berkaitan erat dengan kepribadian manusia yang unik dan multikompleks. Teori motivasi berupaya menjelaskan sebuah perilaku serta stimulus kepada individu untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Tujuan-tujuan tersebut dapat digolongkan kepada subyek-subyek tertentu, misalnya dibidang psikoterapi, manajemen, sosial kemasyarakatan, dan pendidikan.
2. Pembatasan Masalah
Isi makalah dibatasi pada komparasi pemikiran Al-Ghazâli dan Maslow tentang motivasi ditinjau dari sudut pandang implikasinya terhadap pendidikan.
3. Perumusan Masalah
Masalah dalam makalah ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, apakah teori motivasi menurut Al-Ghazâli dan Maslow cenderung menghasilkan pendidikan yang beraliran nativisme dan empirisme ?
C. Tujuan dan Manfaat
Pembahasan dalam makalah ini bertujuan untuk mengetahui apakah teori motivasi menurut Al-Ghazâli dan Maslow cenderung menghasilkan pendidikan yang beraliran nativisme dan empirisme? Makalah ini pun memiliki manfaat untuk mengungkapkan pemikiran kedua tokoh tersebut tentang motivasi dan memberikan inspirasi baru dalam menemukan teori-teori pendidikan humanistik menurut Islam.
D. Ruang Lingkup Pembahasan
Ruang lingkup pembahasan meliputi
1. Hakekat manusia
2. Psikoterapi
3. Aktualisasi diri
4. Pendidikan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KERANGKA TEORI
1. HAKIKAT MANUSIA
Pembahasan tentang hakekat manusia dapat dilihat dari tiga perspektif sebagai berikut:
a. Pandangan filsafat tentang manusia
Dalam filsafat terdapat empat aliran dalam memandang manusia, yaitu materialisem monism yang memandang bahwa hakekat manusia adalah sebuah materi. Kedua, aliran filsafat spiritualisme yang memandang bahwa hakekat manusia adalah ruh dan jiwa. Ketiga, aliran filsafat idealisme yang memandang bahwa manusia adalah perpaduan badan yang material dan jiwa yang tidak material . dan keempat aliaran filsafat dualisme yang beranggapan bahwa hakekat manusia adalah jasmani dan ruh yang keduanya merupakan sesuatu yang saling berbeda.
b. Pandangan psikologi tentang manusia
Ada empat aliran psikologi yang dijadikan rujukan dalam merumuskan teori tentang manusia, yaitu psikoanalisa, behavioristik, humanistik, dan transpersonal.
Aliran psikoanalisa yang dipelopori oleh Sigmund Freud (1856-1939) menyatakan bahwa kepribadian manusia terdiri atas tiga system dan tiga strata kesadaran. Tiga sistem adalah id (das es), ego (das ich), dan super ego (uber ich). Sedangkan tiga strata kesadaran adalah alam sadar (the preconscious), alam sadar (the conscious), dan alam tak sadar (the unconscious).
Aliran Behavioristik yang dipelopori John Broadus Watson (1878-1958) memandang manusia dengan konsep stimulus respon (S-R). Perilaku manusia terbentuk melalui pembiasaan klasik (classical conditioning), hokum akibat (law of effect), pembiasaan operant (operant conditioning), dan peneladanan (modeling).
Sementara aliran Humanistik yang dipelopori Abraham H. Maslow memandang manusia memiliki potensi yang baik dan makhluk bermartabat, bertanggung jawab, dan mampu merealisasikan potensi-potensinya sesuai dengan jati dirinya sehingga mencapai aktualisasi diri.
Adapun dalam pandangan aliran Transpersonal manusia memiliki kebutuhan paling tinggi yaitu kebutuhan spiritual yang membuat mampu mencapai posisi transendensi diri melewati batas kesadaran biasa yang pada suatu saat mampu mencapai tingkat penghayatan mistis, penyatuan diri dengan Tuhan yang Maha Besar.
c. Pandangan Islam tentang Manusia
Ada tiga kata kunci dalam memahami konsep Islam tentang manusia, yaitu basyar, insân, fitrah, dan nafs, dan ruh. Konsep basyar menunjukkan posisi manusia sebagai makhluk biologis yang memerlukan kebutuhan dasar (physiological needs). Sedangkan konsep insân menunjukkan bahwa manusia adalah totalitas yang memiliki fisik dan psikis, badaniah dan ruhaniah, individualistik, khas, unik, berbeda antara manusia satu dengan yang laiinya.
Sementara nafs dan ruh merupakan tentara hati manusia (junûd al-qalb). Hati manusia ini telah memiliki potensi yang disebut fitrah. Demikian penjelasan Al-Ghazâli.
2. TEORI MOTIVASI
Berdasarkan pengelompokkan motivasi ke dalam 4 kategori, yaitu motivasi biologis, motivasi sosial, motivasi personal, dan tingkat tinggi, muncullah 6 teori motivasi.
· Pertama, teori instink yang beranggapan bahwa sebagian besar perilaku manusia ditentukan oleh instink.
· Kedua, teori kognitif yang menjelaskan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih berdasarkan rasio.
· Ketiga, teori hedonistik yang menyebutkan bahwa perilaku manusia pada dasarnya memiki tujuan untuk mencari hal-hal yang menyenangkan dan menghindari hal yang sebaliknya.
· Keempat, teori Homeostatis yang menyatakan bahwa timbulnya sebuah motivasi merupakan akibat dari kondisi manusia yang tidak seimbang (disequilibrium) yang mendorongnya untuk kembali kepada keseimbangan (equilibrium).
· Kelima, teori Harapan yang dipelopori Victor E. Vroom. Menurutnya motivasi merupakan kombinasi antara besarnya keinginan, kemungkinan, dan keyakinan.
· Dan yang keenam adalah teori Aktualisasi Diri yang berpendapat bahwa dorongan tertinggi manusia adalah pencapaian aktualisasi diri.
3. ALIRAN-ALIRAN PENDIDIKAN
Terdapat empat aliran pendidikan yang sudah popular, yaitu nativisme, empirisme, naturalism dan konvergensi. Nativisme yang dipelopori Schopenhauer berpendapat bahwa bayi terlahir sudah dengan pembawaan sifat baik dan buruk. Empirisme melalui John Locke (1704-1832) menyatakan bahwa pembentukan kepribadian manusia sangat ditentukan oleh rangsangan dari lingkungan luar. Naturalisme yang dimunculkan oleh J.J. Rousseau (1712-1778) menyatakan bahwa semua anak yang baru dilahirkan mempunyai pembawaan buruk. Dan Konvergensi yang dipelopori William Stern menyebutkan bahwa keberhasilan pendidikan sangat tergantung dari pembawaan dan lingkungan.
B. RIWAYAT HIDUP AL-GHAZALI & TEORI MOTIVASINYA
Nama lengkap Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhamad bin Muhamad at-Thusi Al-Ghazali. Ia lahir di kota Thus Khurasan pada tahun 450 H atau 1058 M. Pendidikan Al-Ghazali dimulai dari Sang Ayah yang mengajarinya Al-Qur’an. Kemudian ia berguru kepada Ahmad bin Muhamad ar-Razikani dan Imam al-Haramain al-Juwaini di madrasah Nizamiyah. Al-Ghazali wafat pada tahun 505 H/1111 M dalam usia ke-55 dan dimakamkan di kota kelahirannya. Adapun konsep teori motifasinya :
1. Struktur Jiwa
Menurut Al-Ghazali manusia terbagi ke dalam tiga dimensi, yaitu dimensi materi, dimensi nabati, dimensi hewani, dan dimensi kemanusiaan. Dalam tiga dimensi itu struktur jiwa manusia terdiri atas al-qalb, al-ruh, al-nafs, dan al-aql. Unsur yang empat ini mengerucut pada satu makna yakni latifah atau al-ruh al-rabbaniyyah yang merupakan esensi manusia yang memiliki daya cerap, mengetahui dan mengenal, dan sekaligus menjadi obyek pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukannya.
2. Junud al-Qalb sebagai Unsur Motivasi
Menurut Al-Ghazali sebuah perilaku terjadi karena peran dari Junud al-Qalb atau tentara hati. Dalam diri manusia terdapat dua kelompok Junud al-Qalb, yaitu yang bersifat fisik berupa anggota tubuh yang berperan sebagia alat dan yang bersifat psikis. Yang bersifat psikis mewujud dalam dua hal yaitu syhawat dan ghadlab yang berfungsi sebagai pendorong (iradah). Syahwat mendorong untuk melakukan sesuatu (motif mendekat) dan ghadlab mendorong untuk menghindar dari sesuatu (motif menjauh). Adapun tujuan dari perilaku tersebut adalah untuk sampai kepada Allah. Tetapi dalam praktiknya perilaku ini terbagi ke dalam hirariki motivasi Ammarah (hedonistik), motivasi Lawwamah (skeptik), dan motivasi Muthmainnah (spiritualistic).
C. RIWAYAT HIDUP ABRAHAM H. MASLOW & TEORI MOTIVASINYA
Nama lengkapnya adalah Abraham Harold Maslow. Ia lahir pada tanggal 1April 1908 di Brooklyn New York Amerika Serikat dari tujuh bersaudara. Ia belajar di City College of New York, Cornel University, dan Universitas Wisconsin. Gelar Ph.D di bidang psikologi ia raih pada tahun 1934. Ia bekerja di Brooklyn College selama 14 tahun, kemudian di Laughlin Foundation di Menlo Park sampai akhir hayatnya. Maslow meninggal pada tanggal 8 Juni 1970. adapun konsep teorinya :
1. Hakikat Manusia
Tentang hakekat manusia Maslow berpendapat bahwa manusia memiliki satu kesatuan jiwa dan raga yang bernilai baik, dan memiliki potensi-potensi. Yang dimaksud baik itu adalah yang mengakibatkan perkembangan kea rah aktualisasi diri.
2. Kebutuhan Pokok Manusia
Manusia memiliki kebutuhan dasar yang akan selalu menjadi motivasi perilakunya, yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan keselamatan, kebutuhan akan memiliki dan rasa cinta, kebutuhan akan harga diri, dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Untuk dapat sampai pada tingkat aktualisasi diri semua kebutuhan-kebutuhan pokok manusia pada tingkat sebelumnya harus terpenuhi. Selain kebutuhan pokok tersebut yang disebut basic needs manusia juga memiliki metaneeds sebagai kebutuhan pertumbuhan seperti keadilan, keindahan, keteraturan, dan kesatuan.
3. Kebutuhan Pokok sebagai Unsur Motivasi
Teori Motivasi Maslow dibentuk atas dasar teori hirarki kebutuhan pokok. Dengan kata lain pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok inilah yang memotivasi manusia berbuat sesuatu. Teori ini tidak sekedar bersifat homeostatis tetapi juga homeostatis psikologis. Bahkan pada tingkat puncak kebutuhan yang disusun Maslow mengarah kepada mistisisme.
D. HASIL PERBANDINGAN
1. Fitrah Manusia
Secara umum Al-Ghazali dan Maslow memandang fitrah sebagai potensi dasar dari manusia adalah positif dan baik. Perbedaannya terletak pada kriteria baik. Menurut Al-Ghazali nilai-nilai yang baik adalah yang didasarkan atas unsur-unsur ilahiyah yang ditiupkan Allah pada proses penciptaan manusia. Sedangkan menurut Maslow nilai-nilai yang baik adalah yang dapat mengantarkan manusia memenuhi kebutuhan pokoknya dan mencapai aktualisasi diri.
2. Kebutuhan Manusia
Bila Maslow mengelompakan kebutuhan manusia ke dalam lima macam secara hirarkis, maka kita dapat membaginya menjadi dua, yaitu kebutuhan mutlak yang bersifat vertikal, dan kebutuhan terikat yang bersifat horizontal. Kebutuhan horizontal merupakan media dan sarana untuk memenuhi kebutuhan vertikal yakni mencapai kedekatan dengan Allah SWT. Klasifikasi kebutuhan dalam teori Al-Ghazali ini didasarkan kepada etika dan moral. Sedangkan Maslow mendasarkannya pada kepuasan yang relatif. Sekalipun dengan istilah yang berbeda, tujuan dari kebutuhan-kebutuhan tersebut baik menurut keduanya adalah untuk mencapai pengalaman puncak (peak experience).
3. Psikoterapi
a. Emosi
Menurut Al-Ghazali emosi pada dasarnya adalah gejolak dalam hati yang cenderung mengarah kepada dendam. Emosi ini harus senantiasa berada dalam posisi seimbang. Training untuk menyeimbangkan emosi adalah melalui riyadhah al-nafs.
Adapun Maslow berpandangan bahwa emosi cenderung bersifat positif. Emosi ini harus dikembangkan sehingga manusia mampu mengaktualisasikan segenap potensinya. Bukan bukan untuk dijauhi dan dikecam.
b. Konflik dan Macam-macamnya
Dalam pengertian Al-Ghazali konflik adalah suatu kondisi di saat hati berlawanan dengan kebaikan. Konflik ini terjadi ketika muncul dorongan ke arah kehidupan duniawi di satu sisi dan dorongan kehidupan akhirat di sisi lain. Sedangkan Maslow membagi konflik ke dalam kelompok, yaitu konflik yang bersifat ancaman dan yang bukan ancaman. Hanya konflik yang menimbulkan ancamanlah yang dianggap sebagai penyakit hati (psipatologis).
c. Upaya Memecahkan Konflik
Al-Ghazali mengajukan 10 langkah untuk memecahkan konflik, yaitu :
(1) Konsistensi dan ketulusan niat
(2) Ikhlas
(3) Penyesuain diri dengan kehendak Allah
(4) Tidak melakukan bid’ah
(5) Cita-cita yang tinggi
(6) Merasa lemah di hadapan Tuhan
(7) Memiliki sifat takut dan berharap
(8) Melakukan wirid
(9) Muraqabah dan
(10) Berdo’a.
Sementara bagi Maslow ada tujuh cara memecahkan konflik, yaitu :
(1) Melalui Pengungkapan
(2) Pemuasan Kebutuhan Pokok
(3) Meniadakan Ancaman
(4) Peningkatan Pemahaman
(5) Saran Dan Wewenang, Dan
(7) Perwujudan Diri.
4. Aktualisasi Diri
a. Ciri-ciri Aktualisasi Diri
Al-Ghazali berpendapat bahwa orang yang telah mencapai aktualisasi diri adalah orang-orang yang senantiasa mentaati kaedah-kaedah agama dan memenuhi kewajiban baik dalam hubungan dengan Allah maupun dengan sesama makhluk Allah. Sedangkan menurut Maslow ciri orang yang beraktualisasi diri adalah bersifat universal yakni menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan universal dalam berhubungan dengan sesama. Tetapi tidak bermuatan agama.
b. Upaya Pencapaian Aktualisasi Diri
Menurut Al-Ghazali aktualisasi diri dapat dicapai melaui riyadlah al-nafs (pengendalian nafsu), tathahhur (penyucian jiwa), tahaqquq (kristalisasi), takhalluq (peneladanan terhadap sifat Allah), dan ‘uzlah (pengasingan diri). Berbeda dengan itu, Maslow menyebutkan cara-cara yang dilakukan untuk mencapai aktualisasi diri adalah pemuasan kebutuhan-kebutuhan pokok, meditasi, dan pengasingan diri.
5. Pendidikan dan Nilai-nilainya
Pandangan Al-Ghazali tentang pendidikan tercermin dalam pendapatnya tentang hakikat, klasifikasi, tujuan dan cara mencapat ilmu. Ilmu adalah suatu proses untuk mendekatkan diri dan menghubungkan hamba dengan Tuhannya. Ilmu ada yang bersifat hudluri (perolehan) dan ladunni (pemberian). Ilmu juga ada bersifat fardlu ‘ain dan ada yang fardlu kifayah. Dari segi kegunaan ilmu ada yang terpuji, tercela, dan netral. Semua ilmu itu tujuannya adalah mengenal Allah. Untuk mendapatkannya harus dibangun pendidikan yang sarat dengan nilai-nilai akhlak mulia.
Sementara itu Maslow menyodorkan konsep pendidikan humanistik yang bertujuan mengembangkan potensi-potensi manusia sehingga dapat mencapai aktualisasi diri. Pendidikan yang ideal adalah yang memberi kebebasan belajar sesuai keinginan, dapat dicapai oleh siapapun selama ia dapat memperbaiki dan belajar, dan memberikan kesempatan kepada siswa menemukan apa yang disukai dan diinginkannya. Tujuan pendidikan adalah menemukan identitias diri sebagai dasar mencapai tujuan hidup. Maslow mendukung pendidikan yang bermoral dan mencela yang sebaliknya (value free education).

Disusun Oleh: Dinul & Rauf (Jurnalistik UIN Alauddin Makassar 2008)
read more...

Wednesday, July 08, 2009

Free Ebook; Kumpulan Buku Dr. Yusuf Qardhawy

Dr. Yusuf Qardhawi is a moslem and a professor of Al Azhar cairo Mesir. He does written book very much.

Karyanya sangat banyak digemari karena pemikirannya yang elegant. Didalam buku ini terdapat bukunya yang berjudul mengenai Hal Halal dan Haram dalam Islam.

Kumpulan Buku Yusuf Qardhawi

Dr. Yusuf Al-Qardhawi
Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah

Sekilas Tentang PENGARANG
Lahir di sebuah desa kecil di Mesir bernama Shafth Turaab di tengah Delta pada 9 September 1926. Usia 10 tahun, ia sudah hafal al-Qur'an. Menamatkan pendidikan di Ma'had Thantha dan Ma'had Tsanawi, Qardhawi terus melanjutkan ke Universitas al-Azhar, Fakultas Ushuluddin. Dan lulus tahun 1952. Tapi gelar doktornya baru dia peroleh pada tahun 1972 dengan disertasi "Zakat dan Dampaknya Dalam Penanggulangan Kemiskinan", yang kemudian di sempurnakan menjadi Fiqh Zakat. Sebuah buku yang sangat konprehensif membahas persoalan zakat dengan nuansa modern.

Sebab keterlambatannya meraih gelar doktor, karena dia sempat meninggalkan Mesir akibat kejamnya rezim yang berkuasa saat itu. Ia terpaksa menuju Qatar pada tahun 1961 dan di sana sempat mendirikan Fakultas Syariah di Universitas Qatar. Pada saat yang sama, ia juga mendirikan Pusat Kajian Sejarah dan Sunnah Nabi. Ia mendapat kewarganegaraan Qatar dan menjadikan Doha sebagai tempat tinggalnya.

Ebook ini terdiri dari Tiga Buku;

1. Ebook I Berisi :
  • A. Fatwa Qardawi
  • B. Fatwa Fatwa Kontemporer
  • C. Fiqh Prioritas
2. Ebook Kedua Berisi:
  • A. Sistem Masyarakat Islam Dalam Qur'an & Sunnah
  • B. Halal Dan Haram Dalam Islam
  • C. Hukum Dan Zakat
3. Ebook Ketiga Berisi:
  • A. Tuntunan Bertaubat Kepada Allah Swt
  • B. Bunga Rampai

Ingin Bukunya???
Klik Download Buku Pertama (1), Kedua (2), Ketiga (3).
read more...

Mengembalikan Tradisi Lama

Refleksi Penerimaan Mahasiswa Baru Fakultas Dakwa dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar.

Apa salahnya mengembalikan nilai-nilai lama, kalau nilai lama kurang mampu menopang kemajuan. Apa gunanya mempertahankan nilai baru yang tidak mampu membuat kita dapat bersaing? Konservatisme bukanlah hal yang tidak mungkin, selama nilai itu tidak membawa kepada kehancuran.
Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar, misalnya, pernah mencapai kejayaannya pada masa kepemiminan Drs. H. M. Amir Said (1994-1997). Baik dari segi kuantitas, maupun kualitas. Yang penting diperhatikan pemimpin masa sekarang adalah bagaimana mengambil pelajaran pada masa lalu. Dalam artian belajar pada pengalaman.
Merefleks apa yang telah terjadi pada masa lalu. Tradisi lama yang telah berkembang pada seluruh civitas akademika, sebaiknya dipertahankan dan diusahakan untuk diterapkan pada masa sekarang. Keakraban antara mahasiswa dan dosen seharusnya dibina, dijaga dan dilestarikan oleh semua kalangan. Bukan saling mencelah antara satu dengan yang lain. Mahasiswa menghormati dosen dan dosen menyangi mahasiswanya. Dosen memperhatikan mahasiswa dan mahasiswa juga harus mengerti. Bukan keegoisan. Itulah yang dinantikan. Nilai-nilai persaaudaraan yang kami butuhkan. Seperti yang pernah dialami pada masa kepemimpinan Drs. H. Shampo Seha, M.Th.I.
Proses sosialisasi saat sekarang terkesan terlalu formal dan kaku. Promsi memanfaatkan media massa pun dilakukan dengan biaya yang relatif mahal. Padahal jika kita belajar pada masa lalu, baru lahirnya Laboratorium Dakwah (Labda). Banyak sekali kegiatan yang dapat menarik perhatian orang tua dan calon mahasiswa baru.
Keliling hanya sekedar promosi semata tanpa ditunjang dengan kegiatan menarik, hanya berakhir sia-sia. Lain halnya jika ditunjang dengan kegiatan yang melibatkan siswa. Tanpa promosipun akan banyak yang tertarik dan mendaftar.
Hal ini dilakukan pada masa jayanya Fakultas Dakwa dan Komunikasi (FDK). Seperti pertunjukan Teater Nada dan Dakwah serta Teater Lawak yang islami. Kegiatan ini digelar di daerah-daerah. Sehingga banyak mahasiswa datang mendaftar ke FDK. Mahasiswa keliling daerah melakukan kegiatan yang dapat menarik simpati masyarakat. Selain keliling daerah, juga melakukan studi banding ke luar Sulawesi. Lalu mengapa sekarang enggan meniru masa lalu yang dianggap berhasil? Tidakkah berhasil metode masa lalu? Mengapa harus malu untuk mengulangi sesuatu yang baik? Atau memang tidak ada upaya untuk itu... Wallahu A’lam. (ditulis Juni 2008 M/Jumadil Akhir 1429 H).

read more...

Ideologi Jurnalis Muslim

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Belakangan ini, menjadi keprihatinan kita semua, kian banyak orang mengaku dan berpenampilan layaknya wartawan profesional: menggunakan rompi, membawa kamera, catatan kecil (notes), alat tulis, topi, dan sejumlah atribut khusus kewartawanan lainnya termasuk ID Card sebagai wartawan. Boleh jadi, akan lebih banyak lagi para wartawan dan oknum pekerja pers (wartawan betulan atau yang mengaku-aku wartawan), menjadi sasaran umpatan, sumpah serapah, caci maki dan kemarahan para kepala sekolah dan guru, camat dan kepala desa, maupun pejabat, pengusaha, tokoh masyarakat, dan pihak lain yang telah dirugikan akibat ulahnya yang tidak terpuji serta jauh dari sikap seorang jurnalis profesional.

Di antara mereka itu, sebenarnya tidak jelas latarbelakang dan kemampuannya dalam tulis-menulis (jurnalistik). Bahkan tidak sedikit hanya berbekal kartu wartawan (kartu pers), kendati media tempatnya bernaung tidak pernah diterbitkan atau sudah lama tidak terbit lagi. Bagi mereka, agaknya tidak lagi penting apakah bisa dan tetap menulis atau medianya masih terbit atau tidak. Paling penting menyandang predikat wartawan karena dengan itu leluasa bergerak, berhubungan banyak orang, termasuk mendapatkan uang dan fasilitas yang diinginkan dengan berbagai cara serta mendapatkan ”hadiah” jalan-jalan ke luar negeri atau umrah dengan uang rakyat.

Padahal sesuai Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 (UU Pers), wartawan adalah mereka yang sehari-hari secara rutin melakukan aktivitas jurnalistik, yaitu mencari, mengumpulkan, menuliskan atau menyiarkan tulisan, gambar, foto, artikel/feature, maupun produk jurnalistik lainnya untuk dipublikasikan secara luas kepada masyarakat melalui media massa (cetak, elektronik, kantor berita, internet). Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik baik bersifat terikat maupun tidak terikat pada usaha pers (freelance / penulis / kolumnis / fotografer lepas).

B. Rumusan Masalah

· Bagaimana kinerja jurnalisme (pers) dalam media massa ?

· Bagaimana paranan Ideologi jurnalis muslim dewasa ini ?

· Apakah perlu jurnalis muslim menerapkan etika Islam dalam kinerjanya ?

· Apakah Media kampus layak menjadi sarana Dakwah ?

C. Tujuan dan manfaat

  • Memberikan pemahaman tentang profesionalisme jurnalis (pers) dalam mekanisme medi massa
  • Memberikan gambaran mengenai pentingnya peranan Ideologi bagi seorang Jurnalis muslim dalam kinerjanya
  • Menjelaskan tentang makna etika jurnalis muslim terkait dengan profesi kewartawanan
  • Menjadikan Media kampus sebagai basic pengembangan Dakwah (wadah) , syiar Islam

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Jurnalisme Indonesia

Pada awalnya, komunikasi antar manusia sangat bergantung pada komunikasi dari mulut ke mulut. Catatan sejarah yang berkaitan dengan penerbitan media massa terpicu penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg. Di Indonesia, perkembangan kegiatan jurnalistik diawali oleh Belanda. Beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia pun menggunakan jurnalisme sebagai alat perjuangan. Di era-era inilah Bintang Timur, Bintang Barat, Java Bode, Medan Prijaji, dan Java Bode terbit.

Pada masa pendudukan Jepang mengambil alih kekuasaan, koran-koran ini dilarang. Akan tetapi pada akhirnya ada lima media yang mendapat izin terbit: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia. Kemerdekaan Indonesia membawa berkah bagi jurnalisme. Pemerintah Indonesia menggunakan Radio Republik Indonesia sebagai media komunikasi. Menjelang penyelenggaraan Asian Games IV, pemerintah memasukkan proyek televisi. Sejak tahun 1962 inilah Televisi Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar hitam putih.

Masa kekuasaan presiden Soeharto, banyak terjadi pembreidelan media massa. Kasus Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo merupakan dua contoh kentara dalam sensor kekuasaan ini. Kontrol ini dipegang melalui Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah yang kemudian memunculkan Aliansi Jurnalis Indepen yang mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna Galih, Jawa Barat. Beberapa aktivisnya dimasukkan ke penjara.Titik kebebasan pers mulai terasa lagi saat BJ Habibie menggantikan Soeharto. Banyak media massa yang muncul kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi. Kegiatan jurnalisme diatur dengan Undang-Undang Penyiaran dan Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan Dewan Pers.

B. Kinerja Jurnalistik

“Apa alat yang dapat membantuku untuk mengkonstruksi pengetahuan? Menulis. Menulis? Ya. Ketika aku menulis, aku harus mengingat apa saja yang ingin aku tulis. Dan tak hanya mengingat, aku pun harus mengait-ngaitkan apa saja yang ingin aku tulis. Bayangkan jika apa yang kutulis itu adalah mengetahuan baru yang sedang aku pelajari. Betapa menulis itu menjadikan aku sebagai seorang arsitek yang sedang membangun sebuah gedung yang bermanfaat dan bermakna”. Hernowo.

Pekerjaan jurnalistik adalah menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi dengan pengetahuan yang sudah dipahami untuk menghasilkan informasi (pengetahuan) baru yg bermanfaat. Mendapatkan informasi atau berita itu bisa mudah bisa sulit. Yang pasti sulit yaitu mendapatkan berita yang bermutu. Untuk itulah media biasanya menyeleksi ketat apa yang akan disampaikan. Ada istilah di dunia jurnalistik bahwa ‘bad news is a good news’. Berita yang sangat buruk adalah berita yang sangat baik. Orang masih suka membaca berita seburuk apapun asal bukan ia sendiri yg tertimpa.

Ada kriteria berita yang biasanya dianggap layak jual dikarenakan sifat berita yang sangat menarik perhatian pembaca:

v sangat berpengaruh pada nasib pembaca

v sangat beda atau unik

v sangat ekstrim atau menonjol

v berita terbaru / up todate

v berita pesohor / selebritis

Berita-berita tersebut akan selalu menarik perhatian masyarakat pembaca di tengah begitu banyak sumber informasi bersaing memperebutkan perhatian. Dengan persaingan yang ketat seringkali pers terjebak pada orientasi yang salah. Yaitu orientasi keuntungan semata dengan mengorbankan etika. Pers sebagai industri, bisa saja menyampaikan keburukan, kebohongan, pornografi, kekerasan, kemurtadan dan penipuan dengan alasan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dengan gampang! Untuk itu diperlukan etika jurnalistik atau rambu-rambu pers. Bagi pencari berita ada rambu mencari berita valid:

• Ask the right question

• Ask the right source

• Write the news right

Rumus menggali detil berita: 5 W + 1 H

• What : Apa objek, nama, istilah, korban,

• Where : Di mana posisi, alamat, lokasi, keberadaan

• When : Kapan waktu, hari, tanggal, tahun, sebelum/sesudah, kronologi

• Who : Siapa subyek, nama, oknum, otoritas, yang berwenang,

• Why : Mengapa alasan, penyebab, latar belakang, motif

• How : Bagaimana cara, methode, keadaan, tindakan

C. Ideologi Jurnalis Muslim

Jika kita mencoba menelaah pengertian Ideologi maka akan banyak pengertian yang akan ditemui dan telah didefenisikan oleh para pakar disetiap masing-masing disiplin keilmuan. Sekurang-kurangnya makna Ideology adalah suatu proses yang dicetuskan secara sadar oleh mereka yang disebut pemikir dengan kesadaran palsu yang mampu menggerakkan sebuah tindakan yang nyata, ideologi sering diposisikan sebagai referensi utama dalam melakukan sebuah tindakan secara sadar dianggap sebagai sebuah kebenaran. Dalam pandangan marx dan engels bahwa ideologi adalah bentuk kesadaran yang mengungkapkan komitmen mendasar dari suatu kelas sosial. Lihat Henry D. Aiken, Abad Ideologi (Cet.I, Jogjakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2002) Hal.6.

Dalam perspektif Agama Islam, Ideologi dimaknai sebagai kesadaran iluminatif yang berada pada tingkat kesadaran diri, sesuatu yang merembes dari pengertian seseorang akan nilai keagamaan (imanen) melalui kitab suci atau nilai batiniyah. Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa salah satu factor penentu tindakan sesorang tidak terlepas dari ideology yang telah tertanam dalam diri setiap individu. Demikian halnya dengan struktur bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat diandaikan sebagai struktur yang mewadahi sebuah ideology tertentu. Hal ini berkenaan dengan proses komunikasi massa, dimana ideology bermain pada wilayah pesan-pesan media (content). Transformasi (pertukaran) nilai-nilai, budaya, norma, hukum, poliik, pendidikan dsb sangat memungkinkan terjadi dalam masyarakat dimana media tersebut bermukim. Mengingat peran media massa yang begitu besar membawa dampak perubahan social (kemajuan maupun kemundurun), maka ideology seorang jurnalis muslim yang membawa pesan-pesan moralitas agama harus lebih ditonjolkan dalam mekanisme media massa demi meminimais dampak negatife produk media massa.

Adalah tantangan besar bagi seorang jurnalis muslim dalam memerankan profesinya ditengah arus transformasi yang begitu gencar dan mengglobalisasi. Peran jurnalisme (pers) tidaklah mudah apalagi jurnalis yang notabenenya seorang muslim, selain menjalankan profesionalitasnya juga dituntun untuk menyiarkan dakwah Islamiyah ( dakwahkan’ ideologinya ) . Dalam hal ini pesan pesan moral agama dapat menjadi dasar pijakan dalam kinerjanya. Secara garis besarnya Ideologi Jurnalis Muslim dapat di uraikan menjadi lima bahagian yakni :

Ø Tabayyun : Check and recheck, validitas berita dengan tabayyun

Ø ‘Adl : Keadilan, berita harus cover both side

Ø Shiddiq : Kejujuran, qulil haqqu walau kaana murron

Ø Manfaah : Asas manfaat, antakulu khiron au liyasmuth

Ø Istiqomah : Konsistensi dan integritas, lima takulu maala taf ‘aluun?

D. Etika jurnalis muslim

Kalau berbicara tentang etika, yang terbayang oleh kita adalah kata sopan santun. Bila dikaitkan dengan komunikasi massa, maknanya menjadi bagaimana tata cara sopan santun diterapkan dalam penyiaran acara dari media komunikasi massa. Sebenarnya adab sopan santun itu dimiliki oleh semua orang, hanya kadang-kadang hal itu tertutup oleh kepentingan pribadi yang sulit untuk digeser, sehingga yang muncul lebih dominan adalah hal-hal yang lebih bermuatan komersil tanpa mau melihat sisi lainnya.

Seperti dikutip Onong Uchjana Effendy, Mochtar Lubis mengartikan etika (etos) secara luas, yakni dalam maknanya sebagai sistem tata nilai moral, tanggungjawab, dan kewajiban. Jadi etika merupakan suatu perilaku yang mencerminkan i’tikad baik untuk melakukan suatu tugas dengan kesadaran, kebebasan yang dilandasi kemampuan.

Bagi umat Islam, etika yang dijadikan dasar adalah nilai-nilai moral yang terdapat dalam kitab suci Alquran dan Sunnah Rasul. Sebenarnya kalau kita mau jujur, Alquran sebagai wahyu Allah telah memberikan prinsip-prinsip dasar yang melandasi etika komunikasi, termasuk komunikasi massa.

Dalam konteks komunikasi, maka etika yang berlaku harus sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Berkomunikasi yang baik menurut norma agama, sudah tentu harus sesuai pula dengan norma agama yang dianut oleh masing-masing individu.

Pada dasarnya semua agama memiliki tujuan yang sama bila berbicara tentang etika. Karena tentu saja tidak ada satu agama pun yang mentolerir, baik itu perlakuan kasar, kata-kata kotor, tindakan yang asusila atau perbuatan apa saja yang membuat orang lain tidak nyaman. Pendek kata agama mengajarkan bagaimana manusia itu dapat meraih kehidupan yang tenang, tentram, dan damai dengan sesamanya.

Dikatakannya, bahwa dalam konteks komunikasi massa, maka berbohong merupakan sifat tercela, karena sangat berbahaya. Kebohongan dalam komunikasi massa akan menyesatkan masyarakat disebabkan telah menyerap informasi yang salah. Tentu komunikasi seperti ini menyalahi etika komunikasi dan ajaran Islam.

Media massa yang sudah menyam-paikan informasi yang tidak sesuai lagi dengan data dan fakta, atau dengan kata lain sudah menyampaikan informasi yang tidak bisa diterima secara moral oleh publiknya, maka akan sulit lagi untuk meraih kepercayaan dari publiknya. Publik kini sudah lebih kritis dari yang dibayangkan. Contoh konkritnya dalam media massa televisi, orang-orang akan dengan mudah dan bebas memindah-mindahkan saluran televisi melalui “remote” di tangannya, bebas. memilih acara yang disukai.

Kini orang cenderung lebih suka memilih stasiun televisi yang menayangkan film tentang binatang atau tentang ilmu pengetahuan daripada harus menonton acara musik, entah itu musik pop atau dangdut yang penampilannya seronok. Jadi, semestinya para pengelola stasiun televisi bisa lebih peka melihat gejala seperti ini dengan memikirkan lebih serius untuk membuat tayangan yang lebih berbobot, lebih agamis, juga berani untuk merubah paradigma lama yang hanya mengutamakan segi komersil semata.

E. Media Kampus Sebagai Sarana Dakwah

Media kampus merupakan media yang ada di kampus sebagai sarana komunikasi dan pengembangan intelektualitas. Media kampus dibagi menjadi dua yakni media yang dikelola oleh staff pengajar dan humas kampus. Hal ini biasanya berbentuk jurnal, majalah bulanan, radio kampus, TV kampus, hingga situs web. Sedangkan yang kedua, media yang dikelola oleh mahasiswa (pers mahasiswa) biasanya berbentuk buletin dan newsletter. Namun istilah kedua media diatas sering tumpang tindih dengan pers kampus.

Di Amerika Serikat dan Eropa Barat, Pers Kampus dinamakan Student Newspapers (Suratkabar atau Koran Mahasiswa) atau Student Publications (Penerbitan Mahasiswa), bukan Campus Press karena istilah Pers Kampus sebenarnya mencakup berbagai penerbitan yang ada di lingkungan kampus, seperti majalah ilmiah yang diterbitkan pihak universitas atau fakultas, buku-buku teks, dan diktat materi perkuliahan. Namun untuk memudahkan, kita pisahkan istilahnya media kampus (dari kampus untuk mahasiswa, stakeholder, dan publik) dan pers mahasiswa ( dari mahasiswa untuk mahasiswa).

Dalam perjalananya kedua media ini yakni media kampus dan pers mahasiswa ‘bersaing’ untuk saling menunjukkan eksistensinya. Namun diakui pers mahasiswa lebih agresif, progresif dan dinamis dalam menguasai ‘ruang pikir’ mahasiswa dikampus yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena pers mahasiswa dilandasi idealisme dan nilai – nilai perjuangan. Media kampus sebenarnya mempunyai peran yang penting yakni secara internal, ia adalah ruang bagi interaksi antar civitas akademika. Sementara secara eksternal, ia merupakan bagian dari strategi pencitraan kampus bersangkutan.

Namun peran yang penting ini realitasnya tidak diimbangi dengan manajemen yang bagus, performa yang optimal serta SDM yang apa adanya.
Di era digital ini, atau Google Generation ini media konvensional (cetak dan penyiaran) sudah mulai ketinggalan jaman. Sehingga media ini dapat dikonvergensikan dengan dunia maya sehingga civitas akademika dan stakeholder dapat menjangkau informasi, perkembangan ilmu pengetahuan dengan mudah dan cepat. Sebagai contoh Unversitas Airlangga mempunyai Warta Unair, Jurnal Dinamika, radio Airlangga hingga www.unair.ac.id . untuk menunjang hal ini dibeberapa ruang terdapat fasilitas hotspot.

Sedangkan pers mahasiswa juga tidak mau ketinggalan zaman. Walaupun didera kembang kempis masalah keuangan mereka semua tetap bisa eksis. Sebagai contoh apa yang dimiliki oleh BEM Unair dengan Canvas-nya, Retorika milik mahasiswa FISIP Unair dan berbagai bentuk lainnya di masing-masing fakultas di lingkungan Universitas Airlangga. Pers mahasiswa mempunyai kebebasan untuk menyuarakan idealisme dan suara hati nurani tanpa kewatir dengan pemabatasan kebijakan – kebijakan kampus. Walaupun represifitas terhadap pers mahasiswa pernah terjadi pada jaman orde baru. Justru kondisi ini menyuburkan dan meningkatkan idealisme perjuangan mahasiswa.

Pers mahasiswa harus tercermin ilmiah, objektif, rasional, kritis, dan tidak menjadi koran gosip (gossip journalism) apalagi berwujud koran kuning (gutter journalism, yellow papers). Karena sasaran dari pers mahasiswa adalah mahasiswa tentunya sikap – sikap diatas harus dikedepankan serta bagaimana memenuhi curiousity mahasiswa terkait beragam hal.

Pakar jurnalistik dari Universitas Stanford, William L. Rivers, sebagaimana dikutip Assegaf (1985:104), mengemukakan karakteristik ideal sebuah Pers Mahasiswa ( Pers Kampus) sebagai berikut:

1. Harus mengikuti pendekatan jurnalistik yang serius (must be approached as a serious work of journalism).

2. Harus berisikan kejadian-kejadian yang bernilai berita bagi lembaga dan kehidupannya (It should report and explain newsworthly events in the life of the institution)

3. Harus menjadi wadah bagi penyaluran ekspresi mahasiswa (provide medium for student expression).

4. Haruslah mampu menjadi pers yang diperlukan oleh komunitas kampusnya (It should make itself indispensable to the school community).

5. Tidak boleh menjadi alat klik atau permainan yang memuaskan kelompok kecil di kampus (It can’t be a clique operation a toy for the amusement of a small group).

6. Harus dapat memenuhi fungsinya sebagai media komunikasi (Serve the purpose of mass communications).

Selain pers mahasiswa, dikampus sering terdapat buletin atau selebaran yang dikeluarkan oleh UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa),Kelompok Diskusi, kelompok kajian serta Study Club. Media yang mereka keluarkan mempunyai kekhususan sendiri sesuai akar ideologi mereka. Mereka tidak segan-segan untuk mengkampanyekan ideologi mereka mulai dari ide-ide Marxisme (Sosialis – Komunisme), hedonisme, hingga Islamisme. Semua mempunyai kebebasan untuk ‘mendakwahkan’ ideologinya. Inilah realita dunia kampus yang penuh pertarungan dan peperangan pemikiran.

Sebagai mahasiswa muslim, yang memahami secara mendasar akan keislamannya tentu tidak akan menyia-siakan peluang investasi amal akheerat ini. Media kampus baik yang dikelola civitas kampus maupun pers mahasiswa mempunyai peluang yang sama untuk dijadikan sarana nasyrul fikroh islam ini. Atau bahkan kita membuat ide-ide kretif sendiri untuk menyampaikan nilai-nilai kebaikan ini kepada kalayak kampus.Media kampus yang berbentuk jurnal tentunya menuntut intelektualitas dan gaya ilmiah dalam penulisannya. Kalau tabloid / buletin mungkin kita memakai gaya-gaya slank-an (baca slenge’an) yang mudah dipahami oleh pembaca.

Kalau dalam website kita bisa mengoptimalkan kolom-kolom opini serta milist serta komunitas-komunitas yang tergabung dalam friendster.com maupun blog. Setiap pilihan media kampus tentunya menggunakan pendekatan-pendekatan yang berbeda terutama tata bahasa dan gaya penulisannya. Berbicara mendakwahkan islam jangan dimaknai sempit hanya terkait rukun islam saja. Namun lebih dari itu, islam juga mengajarkan kebersihan, kejujuran, etos kerja, anti korupsi, transparansi dan akuntabilitas. Saya pikir opsi kedua inilah yang harus juga kita kedepankan. Sehingga media yang kita gunakan tidak melulu isinya secara semburat kutipan hadist dan ayat alqur’an yang mungkin kita sendiri bingung untuk membacanya. Ketika kita bisa mewarnai dialektika pemikiran di kampus dengan nuansa islam ketahuilah itu merupakan awal kemajuan dari kampus yang bersangkuran.

Berbicara media kampus maka kita melihatnya peluang dakwah tentunya dengan dakwah pena (dakwah bil qolam). Disinilah nantinya kita akan mengelola dan membuat media kampus maupun pers mahasiswa dengan prinsip jurnalistik islam. Jurnalistik Islami adalah dapat dirumuskan sebagai suatu proses meliput, mengolah, dan menyebarluaskan berbagai peristiwa dengan muatan nilai-nilai Islam, khususnya yang menyangkut agama dan umat Islam, serta berbagai pandangan dengan perspektif ajaran Islam kepada khalayak melalui media massa.

Jurnalistik Islami pun bernafaskan jurnalisme profetik, suatu bentuk jurnalisme yang tidak hanya melaporkan berita dan masalah secara lengkap, jelas, jujur, serta aktual, tetapi juga memberikan interpretasi serta petunjuk ke arah perubahan, transformasi, berdasarkan cita-cita etik dan profetik Islam. Ia menjadi jurnalisme yang secara sadar dan bertanggungjawab memuat kandungan nila-nilai dan cita Islam (M. Syafi’i Anwar, 1989:166).

Media kampus dan pers mahasiswa yang nantinya kita kelola setidaknya mempunyai 5 peran baik di dalam kampus maupun di luar kampus:

  1. Sebagai Pendidik (Muaddib), yaitu melaksanakan fungsi edukasi yang Islami. Lewat media massa, ia mendidik umat agar melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. Ia memikul tugas mulia untuk mencegah umat Islam dari berperilaku yang menyimpang dari syariat Islam, juga melindungi umat dari pengaruh buruk media massa non-Islami yang anti-Islam.
  2. Sebagai Pelurus Informasi (Musaddid). Setidaknya ada tiga hal yang harus diluruskan oleh para jurnalis Muslim. Pertama, informasi tentang ajaran dan umat Islam. Kedua, informasi tentang karya-karya atau prestasi umat Islam. Ketiga, lebih dari itu jurnalis Muslim dituntut mampu menggali –melakukan investigative reporting– tentang kondisi umat Islam di berbagai penjuru dunia. Peran Musaddid terasa relevansi dan urgensinya mengingat informasi tentang Islam dan umatnya yang datang dari pers Barat biasanya bias (menyimpang, berat sebelah) dan distorsif, manipulatif, alias penuh rekayasa untuk memojokkan Islam yang tidak disukainya. Di sini, jurnalis Muslim dituntut berusaha mengikis fobi Islam (Islamophobia) yang merupakan produk propaganda pers Barat yang anti-Islam.
  3. .Sebagai Pembaharu (Mujaddid), yakni penyebar paham pembaharuan akan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam (reformisme Islam). Jurnalis Muslim hendaknya menjadi “jurubicara” para pembaharu, yang menyerukan umat Islam memegang teguh al-Quran dan as-Sunnah, memurnikan pemahaman tentang Islam dan pengamalannya (membersihkannya dari bid’ah, khurafat, tahayul, dan isme-isme asing non-Islami), dan menerapkannya dalam segala aspek kehidupan umat.
  4. Sebagai Pemersatu (Muwahid), yaitu harus mampu menjadi jembatan yang mempersatukan umat Islam. Oleh karena itu, kode etik jurnalistik yang berupa impartiality (tidak memihak pada golongan tertentu dan menyajikan dua sisi dari setiap informasi [both side information] harus ditegakkan. Jurnalis Muslim harus membuang jauh-jauh sikap sektarian yang baik secara ideal maupun komersial tidaklah menguntungkan (Jalaluddin Rakhmat dalam Rusjdi Hamka & Rafiq, 1989).
  5. Sebagai Pejuang (Mujahid), yaitu pejuang-pembela Islam. Melaui media massa, jurnalis Muslim berusaha keras membentuk pendapat umum yang mendorong penegakkan nilai-nilai Islam, menyemarakkan syiar Islam, mempromosikan citra Islam yang positif dan rahmatan lil’alamin, serta menanamkan ruhul jihad di kalangan umat.

F. Liberalisasi Jurnalisme dan Ideologi Pers, Perlukah?

Salah seorang mahasiswa dari Jerman yang meneliti dunia jurnalistik, namanya Thomas Hanitszch. Baru-baru ini di Freedom Institute yang diketuai Rizal Malarangeng, dia mengatakan sebaiknya liberalisasi jurnalisme mulai di hilangkan. Kenapa? menurutnya itu berhubungan dengan ideologi jurnalistik.
Sebab menurutnya jurnalistik khususnya di Indonesia, masih belum jelas apakah sebuah profesi atau bukan. Jika dibilang ya, tapi belum menyentuh 'public spare' seperti profesi lainnya seperti dokter, tentara dan pengacara. Jika dibilang belum, ternyata banyak politisi dan ekonom bahkan masyarakat umum yang mengambil keputusan berdasarkan pemberitaan media massa. Menurutnya apakah ada profesi yang cocok untuk dunia pers ini.

Banyak yang diulasnya tapi yang menarik adalah liberalisasi pers. Bukan saja di Indonesia menurutnya di Jerman juga begitu. Artinya mereka yang bekerja di pers memiliki latar belakang non pers alias kuliah di jurusan non jurnalistik. Dia bilang sekitar 50% pekerja jurnalis Jerman dari latar belakang non jurnalis. Sementara 22% dari ilmu komunikasi massa, lalu sekitar 15% dari ilmu jurnalistik dan sisanya jurnalis freelancer.

Jika dikaitkan dengan fotografi apakah perlu liberalisme pers? apakah seorang fotografer pers harus dari jurusan fotografi juga? Who Knows. Di KOMPAS, tak ada satu pun fotografer yang berasal dari sekolah fotografi .Demikian pula di bagian tulis. Keahlian seorang wartawan umumnya justru bukan dari bidang studinya sendiri. Kesimpulannya : jurnalistik adalah panggilan jiwa, bukan profesi. Orang jadi wartawan sebaiknya bukan karena cari pekerjaan, melainkan karena memang ingin jadi wartawan. Kalau orang mau kaya, jangan jadi wartawan sebab akan jadi pangacau saja. Tapi, seorang calon wartawan sebaiknya bersekolah di luar bidang jurnalistik agar punya ilmu tambahan di luar kerjaannya.

BAB III

PENUTUP

Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik (mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi) baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik, maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. QWartawan itu harus memahami profesinya dengan baik supaya dapat bertindak profesional dan tidak menimbulkan masalah akibat perilaku yang salah atau produk jurnalistik yang dihasilkan tidak benar dan menyesatkan.

Wartawan juga seharusnya bekerja dengan dasar pendidikan, pelatihan, dan pengalaman yang memadai, serta mematuhi kode etik. Standar kompetensi wartawan mestinya memiliki rasa ingin tahu tinggi, kematangan dan tanggung jawab, pengetahuan umum luas, kreatif, sabar dan persisten/teruji mental, berani, adil, jujur, dan berintegritas, berpikir independen, dan berusaha mencari jawaban kondisi yang dialami atau dilihat menyangkut kepentingan masyarakat.

Namun, semuanya berpulang kepada pilihan wartawan dan institusi pers bersangkutan, termasuk penilaian publik terhadap institusi pers dan para wartawan serta organisasi pers di sini: mana yang masih terjaga integritas, independensi, dan sikap profesionalnya, serta mana yang telah ”menggadaikannya” dengan mengatasnamakan pers serta predikat kewartawanan. Adapun Sikap untuk menjadi seorang jurnalis yang baik:

v Harus ada interaksi (timbul dari kepedulian) dgn peristiwa dan fakta

v Harus ada pendalaman (timbul dari minat baca yg besar) dgn ilmu atau informasi yg sudah ada

v Harus ada kreatifitas (timbul dari imajinasi, variasi dan daya cipta) untuk menangkap dan mencipta hal baru

v Harus ada sikap kritis (timbul dari rasa ingin tahu yg besar) untuk mendapatkan data dan fakta baru yg detil dan valid

v Harus ada penjiwaan (timbul dari niat yg bersih) sehingga apa yg dihasilkan bermakna dan bermanfaat

Kesimpulannya : jurnalistik adalah panggilan jiwa, bukan profesi. Orang jadi wartawan sebaiknya bukan karena cari pekerjaan, melainkan karena memang ingin jadi wartawan. Kalau orang mau kaya, jangan jadi wartawan sebab akan jadi pangacau saja. Tapi, seorang calon wartawan sebaiknya bersekolah di luar bidang jurnalistik agar punya ilmu tambahan di luar kerjaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Source: http://www.detiknews.com/read/ 2008/ 08/ 07/ 150741/ 984650/ 10/

Source: http://www.google. co. Id, Etika Komunikasi Massa Oleh : Dra.Hj.Dewi idowati,M.Si. (Dosen Stikom WJB Serang).

Prof. Dr. H. Hafied Cangara, M Sc, Pengantar Ilmu Komunikasi, PT Raja Grafindo Persada, juli 2006, Jakarta

DR. Ir. A. M. Saifuddin, Islam Untuk Disiplin Ilmu Sosiologi, DEPAG, Agustus 1997, edisi ketiga, jakarta

Aiken, Henry D., Abad Ideologi, Cet.I, Jogjakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2002

Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media, Cet.III, Jogjakarta: LkiS, 2005

Bolkestein, Frits, “Liberalisme: Dalam dunia yang tengah berubah”.Friedrich- Nouman-Sitffung :2006.

Lauer, H. Robert, “Perspektif Tentang Perubahan Sosial”. Rineka Cipta :2001.

Rachmat, F.Miftah, “Catatan Kang Jalal”. Rosda :1997.

-----------------------------------------


Disusun Oleh : Dinul Fitrah Mubaraq (5 0 5 0 0 1 0 6 0 3 4)

Jurnalistik Fak. Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar 2008

read more...